Mengalah pada kenyataan buatku sesal tak berdaya. Seperti kehilanganmu kini. Tidak dapatkah sebuah permohonan kecil dariku tersampaikan untuk dijawab? Lelah tanpa bersandar. Tak kutemukan hakikat diri yang selama ini kucari. Mataku berkeliling berharap cemas. 'Ada kau disana? Ada kau disana? Menantiku..menantiku.. ' suara-suaramu terdengar jelas di hatiku, mencari. Keberadaanmu memanggilku. Tapi dimana? Mataku kasat. Pandanganku jauh menembus dimensi orang-orang hidup. Menelusuri lekuk-lekuk bentuk. Membuka selubung-selubung yang bisa jadi menyembunyikanmu. Bolehkah ku berlari dari kenyataan? Menjauhi keriuhan yang datang silih berganti mendekapku. Seperti ruang memberi kebebasan bergerak. Seperti udara yang bebas kuhirup. Aku menderu bagai angin memutar mencari celah melalui..dan tetap tak kudapati kau dimana pun jua.
----------
Aku bisa melihatmu, duhai Kekasihku. Geletar rasamu tidak dapat kau tutupi dari jiwaku, yang acapkali menyebut-nyebut namamu. Aku hampir mati gelisah, lihatmu resah. Aku memandangmu dari kejauhan yang kau sangkakan jauh, padahal dekat. Aku membisikkan kata-kata yang selama ini aku yakini, adalah satu makna dengan adamu. Sedang kau bertubi-tubi, berlari-lari hingga ke ujung dimensi yang tetap tidak akan menjangkau aku. Sepanjang hayatku berbicara, hanya denganmulah aku merasakan detik-detik kesanggupan. Bahkan dunia yang melarang kita bertemu, tidak dapat menyatakan alasannya mengapa- dan kenapa. Kamu mati, maka masihkah ada alasanku untuk terus hidup? Melakoni hidup yang sementara inilah, darah yang mengalir di sepanjang pembuluh nadiku, terus menerus meneriakkan namamu. Jika sebuah kisah adalah indah untuk diceritakan, tak dapatkah kisah kita menjadi salah satunya? Seperti aku menyatakan seberapa jauhnya aku darimu, adalah cara kita untuk dipersatukan kembali; atau dapatkah sesuatu yang disebut satu bernafas dari dua jiwa yang terpisah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar