Sabtu, 03 September 2011

to love you, to love you not

Amplop itu sudah sedari tadi dipegang Atmos. Sudah beberapa kali hendak dibuka,
dan puluhan kali mau dibuang. Bukan kemauannya, amplop itu dipercayakan kepadanya. Sebuah hal yang membuat dia merasa dihargai juga menjadi orang ternaif se-Jakarta. Kejadian 2 bulan lalu kembali menghampiri kotak ingatannya.
Dia, Andre, dan Ana. Sebuah rekaman yang membuat dia tahu bahwa cinta buta tidak selalu tidak bisa melihat. Membuat dia mengerti, cinta yang berjuta rasanya tidaklah jauh dari sebongkah rasa takut kehilangan. Seperti pertanda, malam itu, dia mengenakan kemeja biru favoritnya. Petunjuk. Dia akan jatuh ke dalam sebuah jeda yang dia coba reka. Bahwa kesempatan adalah seperti sebuah ujian praktek. Berhadapan empat mata terhadap hal-hal yang tidak kau sangkakan bakal datang. Tapi di saat tiba, adalah sebuah anugrah terindah.
Sepasang mata yang menatapnya itu, menunggu katakata kepastian. Dua jam lalu, hatinya berdetak tak keruan. 'Mos, temui aku di kantin Bu Zara ya. Dua jam lagi. Ana.'
Bukan hal rahasia, Ana tlah ratusan kali menolak para lelaki yang mencoba mendekatinya. Bukan rahasia pula,
Ana berkarib dengan dua pejantan tangguh, Atmos dan Andre. Tapi adalah sebuah rahasia besar bahwa Atmos sudah semenjak lama menyukai Ana. Lebih tepatnya itulah saat pertama mengenal cinta. Rasa yang membuatnya berpaling dari kesemrawutan dunia. Mengajarkan berbicara tanpa bahasa bahasa baku yang semu.
Hadir tanpa perlu tercipta. Datang secara tibatiba. Tak terkecuali saat ini, saat yang memang telah
lama dinantikan Atmos. Bertemu muka dan bersilang pandang. Tanpa perlu katakata saling baku hantam. Cukup mendengar hela nafasnya dan nafasku beradu. Cukup aku tahu, apa yang sedang di tatapnya kini. Sebuah potret. Kejadian 2 tahun lalu, saat awal kami bertemu. Tidak..bukan. Awal kami bertiga menjadi sahabat senasib sepenanggungan. Haha. Pasti Ana akan tertawa geli setiap kata lelucon itu aku lontarkan. Dan andai dia juga tahu bahwa sahabat yang diakuinya kini adalah salah seorang penggemar terbesarnya. Mengaguminya diamdiam tanpa perlu sejarah mengilaskannya. Kadang kumenyebutnya cinta sejati. Di lain ketika, aku menganggapnya cinta terlarang. Cinta yang meletupletup dan bahagia walau bukan untuk memiliki.
 
Ada yang bergelayut di hatiku. Sudah 20 menit kami seperti ini. Tatapannya tak lepas dari gambar kami bertiga. Dan aku memandangnya dengan pesan cukup aku yang tahu.
 
Pesanan dua lemon tea ice dan dua pisang goreng keju tiba. Entahlah apakah orang yang sedang jatuh cinta akan berpikir serumit itu. Bukan untuk dikembar-kembari. Bukan untuk mengatakan kepada orang di sekitar, 'tidakkah kami terlihat seperti the best couple?'
Tapi aku ingin merasakan apa yang dia rasakan. Aku ingin menikmatinya dengan katakata yang semenjak lama ingin kukatakan, dan cukup aku yang mengerti. Seperti biasa, dia memainkan sedotan pada bongkah bongkah es yang berenang sebelum mulai mengecap apa yang mungkin di lepaskan oleh es yang tlah mencair itu. Andai dalam silsilah masa laluku, aku adalah sebongkah es batu.
 
 
Dalam pikiran yang turut berenang, Ana mulai menunjukkan raut muka serius. Seakan sebentar lagi akan dimulai rapat membahas masalah bangsa ini yang tak tuntas tuntas.
Sekitarku ikut larut, seakan mengerti bisak bisik pun menjadi setenang suara jangkrik. Makanan itu tersaji lengkap dan nikmat seperti biasanya. Hanya suasana kali ini tidak biasa. Tidak ada katakata ngebanyol keluar dari mulutku. Otakku buntu. Di hadapanku, Ana memandangku lama. Dan serius pula. Adakah aku lupa memasang sesuatu di wajahku hingga terlihat asing dan aneh?'
 
'Mos, aku sama Andre sudah jadian'
 
apa?
 
APA?
 
WHUAAATTTT?!!
 
teriakku pilu dalam hati sejadi-jadìnya.
Dengan wajah yang masih tertata rapih dipoles sedikit senyum.
 
Dan aku hanya terdiam.
Sepertinya mulai membatu seperti es batu.
Ah! Apakah itu masih penting, menjadi bongkahan es batu?!
 
'sudah dari dua bulan lalu, Mos. Andre..dia menyatakan perasaan tentang siapakah aku dalam hidupnya. Tentang makna cinta yang di dapatkan cukup dengan merasakan bayanganku di dekatnya.'
Mata Ana sedikit membesar. Sepertinya dia berusaha meyakinkanku. Kejadian mereka berpacaran adalah untuk kebaikan. Bahwa hidup dengan menyimpan perasaan tidaklah baik untuk kesehatan juga masa depan.
 
Tapi..bagaimana denganku?
Gerutu batinku tak terima ini adalah kenyataan yang memang nyata.
Ana, kekasih hatiku yang diamdiam kukasihi meski dalam hati menjadi sepasang kekasih betulan dengan sahabat sejatiku. Apa kata dunia?
Inikah buah kebodohanku?
Atas benih rasa yang kutabur dan kupupuk, namun dicabut
 
paksa tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Bukankah itu salah satu akibat dari kebaikan yang kau sangka adalah baik.
Kalian. Berdua dan tidak lagi bertiga. Aku tak ada.
Cukup dengan aku tak ada.
Mataku tidak menunjukkan tandatanda emosi. Mimik adalah bahasa terbaikku mengutarakan maksud. Dan suarasuara yang gemuruh di dada adalah samar untuk tergambar. Masih dengan wajah sejuta kata, aku mengucapkan selamat.
 
Selamat bahwa cinta pertama (bahkan kuyakin terakhirku) tlah menerima cinta Andre,yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatku.
 
Jadi sudah seharusnyalah aku memberi mereka selamat. Bukankah begitu?
 
...entah
'duh, untung aja. Syukurlah kamu mau mengerti, Mos' tanganmu memegang kepalaku. Haah.. benarkah ragaku masih bertumpu pada bangku?
 
Entah, mengapa kumasih merasa bahagia itu. Entah pula untuk apa...
 
'oya Mos satu hal lagi..'
 
satu lagi?
 
'kami akan menikah. Baru rencana. Mungkin awal tahun depan.. trus..
'
katakata Ana mengalir deras tentang rencana dan masa depannya. Lamatlamat pendengaranku seakan menjauh dan menjauh.
Hatiku pun ikut terjatuh. Pecah.
Entah menjadi berapa kepingan..entah musnah tanpa sisa. Tapi cukup membuatku merasa tak punya hidup. Bukankah hati adalah sumber pengharapan dan hidup?
 
Lamunanku berisi ribuan, puluhan bahkan jutaan keping kenangan yang terbang menuju langit tak terbatas. Hujan mulai rintik. Tak lama kemudian deras. Tak lama setelah itu adegan datangnya pangeran menjemput Cinderela.
Ya. Andre tiba dengan pakaian setengah basah kehujanan.
Muka panik Ana menciptakan adegan dramatis pada suasana kantin. Semua orang melihat kami. Aku merasa melihat diriku sendiri. Tanpa kekuatan apaapa untuk berbuat apapun.
 
'udah, Na. Jangan pake nangis gitu ah. Kamu tenang aja, aku gak apa-apa'
 
'Maaf ya, aku telat. Ternyata sudah pesan duluan ya' upaya Andre membuka topik. Matanya mengarah kepadaku, berharap aku merespons.
'Bagaimana kabarmu, sobat?' tangan diulurkan menanti sambutan.
 
Roh es batu masih menginap di tubuhku. Tidak ada daya lagi membuatku sanggup menghadapi manusia setengah kuyup di hadapanku saat ini.
 
'Mos, kamu kenapa?'
 
Suara itu. Ana memanggilku. Mengkhawatirkanku?
 
Aku tidak tahu mengapa tibatiba indera pendengaranku tidak berfungsi. Mataku pun hanya melihat potonganpotongan gambar yang tak lagi utuh.
 
Aku merasa katakata yang keluar dari mulutku bukanlah suara yang ingin kukatakan. Mereka duduk berdampingan di hadapanku seakan menghadap calon mertua. Mereka mengatakan aku akan menjadi tamu spesial pada pesta pernikahan mereka nanti.
(Apakah akan ada gunanya untukku?)
 
Aku tidak tahu mengapa aku dapat mempersembahkan senyum terbaikku saat itu, seakan akulah mempelai pria menyatakan sebagai manusia berbahagia.
 
Ana mengeluarkan sebuah amplop. Di dalamnya berisi sejumlah kenangan kita bertiga.
Saat saat dimana aku menganggapnya hanya ada kita berdua. Entah mereka, apa sebenarnya menganggapku ada?
 
Atmos..atmos..kemana saja dirimu?
 
Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidupku. Rasanya malam itu umurku bertambah beberapa abad.
Rasanya mabuk akan menyenangkan.
 
Pukul 10.25 malam
 
Aku mempersilahkan diri pulang lebih dulu.
Kurang tidur selama dua hari mengerjakan skripsi cukup menjadi alasan meninggalkan mereka, tanpa perlu lagi ada kekakuan karena bayangbayangku disana.
Cukup mereka.
Ana dan Andre.
 
Dan aku cukup terlelap dalam kelembutan malam membelaiku. Di antara bau nafas alkhohol, di tengah lagu 'I Will Survive' yang kuputar berulang kali,
di dalam gundukan bantal di balik selimut,
di antara kertaskertas dan fotofoto yang bertebaran.
Amplop itu telah kutelanjangi dan ku coba meresapi apa yang selama ini telah kujalani.
 
Wajah Ana tersenyum menatapku lama.
Mulutku hanya bisa berucap setengah suara
 
'kau tahu..
aku mencintaimu..
semoga kau berbahagia ya, Na'
 
(Re-post from my FB' notes)