Jumat, 20 Agustus 2010

aku yang bersaksi, kembali berkata

beranda ini tidak berubah. Angin dan buah-buah jambu seperti tempo dulu. Sepasang merpati duduk di bangku, menunggu. Aku saksikan, dan kini kuceritakan. Sementara yang duduk di sampingku kini, tersenyum. Mata yang sama. Kedua matanya berbinar menatapku. Penantian yang tidak sia-sia. Seperti daun jambu yang gugur, berharap dikerumuni tanah, mengering, membusuk untuk menyatu dengan bumi. Terserap. Diserap akar-akar yang dulu menghidupinya. Untuk kembali muasal, dimana daun pernah dibuat hijau, dibuat rimbun. Masih dia menatapku. Aku meneruskan kesaksianku.
'Menjelang senja, angin menjatuhkannya, meneruskan pergerakannya. Semakin besar, besar dan tambah membesar. Kuasa yang membawa daun-daun pergi ke tempat-tempat terasing yang membuatnya jauh dari suasana yang selalu dirinduinya, daun hanya mampu mengikutinya. Pasrah. Mata dan hatinya terpejam ribuan kata. Sempat hendak bertanya, terhenti. Angin membungkamnya. Langit yang selalu dikenalnya biru, berubah mengabu. Seperti kelamnya warna ketakutan mengungkungnya. Burung-burung melewatinya, seakan enggan menyapa. Mereka bersayap, mengepak-ngepak, menerobos angin dengan gagahnya. Andai..andai..mereka mau mengembalikan ragaku ke tempat semula, harap daun-daun lemah tanpa daya'. Kali ini matanya sembab. Air mengalir dari sudut-sudut matanya, membasahi pipi yang tidak lagi sesegar dulu. Mengedip sesekali, hanya membuat air itu lepas dari kantung-kantung matanya. Mengalir menjauh dari rahim yang mengandungnya. Tatapannya melemah. Tidak berkata-kata seperti biasa. Terpenjara dan terekam dalam hatinya. Kali ini tidak ada siapa-siapa. Hanya kami berdua. Pohon jambu itu telah ditebang. Angin tak kuasa lagi mengusiknya. Tapi dalam ingatan, pohon jambu itu tidak pernah hilang. Terus ada dalam kenangan. Aku yang bersaksi, kembali berkata.

akan datang saat itu

tidak cukupkah jiwa-jiwa berkelana mencari sebagian jiwanya yang belum diketemukan untuk saling melengkapi; sebab adalah sebuah kebutuhan jiwa, jika tanpa jiwa lain mengisinya?
perjalanan menggapaimu memang akan panjang, dan akan membuatku berdusta terhadap segala rupa yang mencoba memisahkan kita kembali.
maka jiwaku takkan pernah terlelap.
pengembaraan ini takkan pernah usai.
kehausan ini akan menuntunku menuju ke rumahmu, ke tempatmu dibesarkan.
ke ruangmu dilahirkan.
terpujìlah rahim yang telah mengandung dirimu, kasih.
adalah kau memaknai segala cakrawala mimpi-mimpiku.
jangan kau bawa resah, Kasih.
gelisahku adalah adrenalinku.
yang memacu kala ku berlari,
yang memeluk
kala ku ragu
bukankah itu juga menjadi bukti bahwa memang pernah adanya kisah tentang kita.
rasa yang sedemikian merasuk hingga ke sumsum-sumsumku,
menahbiskan apa yang kukenali dengan nama cinta.
bahkan aku sudah mengenalmu, sebelum kita sempat bersua.
tidak ingatkah dulu di kehidupan sebelumnya, kita diperkenalkan meski bukan untuk dipersatukan?
kejadian yang bagaimana lagi perlu terjadi agar dapat tergambarkan kesatuan antara kita- merupakan hal tak terhindarkan, sekaligus menjadi permohonan terbesar di hati kita.
lalu apakah yang patut kami perbuat selain mengucap segala syukur dan terima kasih telah terwujudnya mimpi-mimpi kami.
Jarak bukanlah syarat menggaris batas langkah-langkah aku menujumu.
keterbatasan tidak menjadi sebuah hambatan berarti untukku temui. Adamu disana, di suatu tempat terasing sekalipun adalah suatu bukti keberadaanku.
aku akan menemukanmu,
tidak sesegera seperti yang kau sangkakan,
juga yang kuharap.
dan kuyakin, akan muncul kekejutan itu, dimana takdir akan mengalah kepada kita. takdir akan luluh, membiarkan kaki-kakiku berjalan 'tuk mencapaimu.

Rabu, 18 Agustus 2010

antara aku dan kau (4)

Mengalah pada kenyataan buatku sesal tak berdaya. Seperti kehilanganmu kini. Tidak dapatkah sebuah permohonan kecil dariku tersampaikan untuk dijawab? Lelah tanpa bersandar. Tak kutemukan hakikat diri yang selama ini kucari. Mataku berkeliling berharap cemas. 'Ada kau disana? Ada kau disana? Menantiku..menantiku.. ' suara-suaramu terdengar jelas di hatiku, mencari. Keberadaanmu memanggilku. Tapi dimana? Mataku kasat. Pandanganku jauh menembus dimensi orang-orang hidup. Menelusuri lekuk-lekuk bentuk. Membuka selubung-selubung yang bisa jadi menyembunyikanmu. Bolehkah ku berlari dari kenyataan? Menjauhi keriuhan yang datang silih berganti mendekapku. Seperti ruang memberi kebebasan bergerak. Seperti udara yang bebas kuhirup. Aku menderu bagai angin memutar mencari celah melalui..dan tetap tak kudapati kau dimana pun jua.




----------



Aku bisa melihatmu, duhai Kekasihku. Geletar rasamu tidak dapat kau tutupi dari jiwaku, yang acapkali menyebut-nyebut namamu. Aku hampir mati gelisah, lihatmu resah. Aku memandangmu dari kejauhan yang kau sangkakan jauh, padahal dekat. Aku membisikkan kata-kata yang selama ini aku yakini, adalah satu makna dengan adamu. Sedang kau bertubi-tubi, berlari-lari hingga ke ujung dimensi yang tetap tidak akan menjangkau aku. Sepanjang hayatku berbicara, hanya denganmulah aku merasakan detik-detik kesanggupan. Bahkan dunia yang melarang kita bertemu, tidak dapat menyatakan alasannya mengapa- dan kenapa. Kamu mati, maka masihkah ada alasanku untuk terus hidup? Melakoni hidup yang sementara inilah, darah yang mengalir di sepanjang pembuluh nadiku, terus menerus meneriakkan namamu. Jika sebuah kisah adalah indah untuk diceritakan, tak dapatkah kisah kita menjadi salah satunya? Seperti aku menyatakan seberapa jauhnya aku darimu, adalah cara kita untuk dipersatukan kembali; atau dapatkah sesuatu yang disebut satu bernafas dari dua jiwa yang terpisah?