beranda ini tidak berubah. Angin dan buah-buah jambu seperti tempo dulu. Sepasang merpati duduk di bangku, menunggu. Aku saksikan, dan kini kuceritakan. Sementara yang duduk di sampingku kini, tersenyum. Mata yang sama. Kedua matanya berbinar menatapku. Penantian yang tidak sia-sia. Seperti daun jambu yang gugur, berharap dikerumuni tanah, mengering, membusuk untuk menyatu dengan bumi. Terserap. Diserap akar-akar yang dulu menghidupinya. Untuk kembali muasal, dimana daun pernah dibuat hijau, dibuat rimbun. Masih dia menatapku. Aku meneruskan kesaksianku.
'Menjelang senja, angin menjatuhkannya, meneruskan pergerakannya. Semakin besar, besar dan tambah membesar. Kuasa yang membawa daun-daun pergi ke tempat-tempat terasing yang membuatnya jauh dari suasana yang selalu dirinduinya, daun hanya mampu mengikutinya. Pasrah. Mata dan hatinya terpejam ribuan kata. Sempat hendak bertanya, terhenti. Angin membungkamnya. Langit yang selalu dikenalnya biru, berubah mengabu. Seperti kelamnya warna ketakutan mengungkungnya. Burung-burung melewatinya, seakan enggan menyapa. Mereka bersayap, mengepak-ngepak, menerobos angin dengan gagahnya. Andai..andai..mereka mau mengembalikan ragaku ke tempat semula, harap daun-daun lemah tanpa daya'. Kali ini matanya sembab. Air mengalir dari sudut-sudut matanya, membasahi pipi yang tidak lagi sesegar dulu. Mengedip sesekali, hanya membuat air itu lepas dari kantung-kantung matanya. Mengalir menjauh dari rahim yang mengandungnya. Tatapannya melemah. Tidak berkata-kata seperti biasa. Terpenjara dan terekam dalam hatinya. Kali ini tidak ada siapa-siapa. Hanya kami berdua. Pohon jambu itu telah ditebang. Angin tak kuasa lagi mengusiknya. Tapi dalam ingatan, pohon jambu itu tidak pernah hilang. Terus ada dalam kenangan. Aku yang bersaksi, kembali berkata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar