Besok aku akan ke Jakarta. Sebenarnya banyak teman-temanku iri, atas kesempatan ini. Mereka melihat hingar bingar kota Jakarta lewat kotak televisi. Mendengar kesaksian para tetangga, juga saudara-saudara jauh, Jakarta itu kota dengan berjuta kesempatan. Kesempatan hidup dan mendapatkan rejeki. Ataukah bakal mati karena ketiban sial tak tahu cara mencari makan. Kedatangan paman Toro kali ini sengaja, agar pulang ke Jakarta, tidak dengan tangan hampa. Awalnya, aku menolak keras. Pertahanan itu jebol, ketika kakek dan nenek memberiku doa restu. Walau dengan iringan menangis tersedu. Malam sebelum keberangkatan, aku diberikan nenek selembar surat. Surat dari seorang laki-laki yang seharusnya merawat dan bertanggung jawab atas hidupku. Dia ayahku. Ayah biologis dan memilih menjadi seorang pengecut, setelah ibu meninggal sesaat melahirkanku.
Surat itu sudah kusam. Bau yang tercium seperti sedang membuka lemari pakaian nenek. Selembar foto wanita terjatuh. Rambut sebahu tanpa riasan, dan wajahnya seperti tidak asing. Ah, inikah mamaku? Seketika itu amarah meletup-letup memenuhi pikiranku. Surat itu segera kututup dan kumasukkan ke amplopnya. Kupeluk nenek erat-erat sambil menahan tangis. 'Belum saatnya, nek..ini belum saatnya.. ' Malam itu terasa panjang dan hangat..sekaligus singkat, karena esok adalah hari yang berbeda. Untukku. Juga nenekku.
Lambaian tangan kakek dan nenek masih terlihat dari kejauhan. Teman-temanku berlomba-lomba mengejar mobil pamanku. Lamat-lamat, hijaunya pohon beralih menjadi gedung-gedung tinggi yang seumur-umur baru terpantul persis di depan mataku. Perjalanan dengan kereta, keramaian manusia, dan kebisingan mesin membuat diriku tenggelam dalam dunia asing.
'Tri, inilah keajaiban kota Jakarta, kamu harus cepat beradaptasi agar bisa bertahan hidup. Jangan mau kalah, atau kau akan dikalahkan' paman berpesan ketika kami berempat makan malam.
Duduk dengan bìbi dan paman, juga Tessa, anak satu-satunya membuatku merasa memiliki keluarga baru. Memulai dan menciptakan keajaiban dalam semalam.
Bukan tentang hidup di Jakarta, tetapi mendapat kehangatan dari sebuah keluarga.
Mimpi yang menjadi nyata.
Malam itu, aku berbagi tempat tidur dengan Tessa. Dia pendiam. Basa-basi yang seharusnya kuucapkan, tertahan di tenggorokan.
Malam itu, usiaku yang belum genap 13 tahun, merasakan bahagia seorang anak kecil mendapatkan hadiah natalnya. Bahwa aku masih mempunyai masa depan, dan harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar