Rabu, 27 Oktober 2010

Belum pernah aku bangun sesiang ini. Jam 6 pagi. Biasanya aku dan nenek sudah siap dengan sangu dan lauknya. Tapi kali ini, aku masih terbaring di ranjang. Sendiri. Batang hidung Tessa juga tidak terlihat. Entah kenapa, perasaan ini tidak enak. Terdengar suara-suara ribut, setengah ditahan dari luar kamar. Sedikit jalan jinjit, kuberanikan mengintip. Suara yang awalnya hanya samar-samar, mulai jelas tereja.

'Lain kali kalau mau bawa tambahan orang di rumah ini, papa jangan main bawa gitu dong. Memang maksud papa baik, tapi tolong pikir baik-baik, Pa..hidup kita juga gak enak dan kelebihan. Apa papa pikir nggak akan nambah beban lagi?' bibi setengah berkacak pinggang. Tessa di belakang ibunya, terlihat mendukung. Ekspresi mukanya jelas ikut menyalahkan paman. Dan paman, duduk bagai terdakwa mendengarkan tuntutan.

'Mama jangan bicara kayak gitu' paman mulai berdiri, mengambil sikap. 'Apa yang papa ajak kemari itu keponakan papa sendiri, bukan orang lain. Astri anak yang pintar, sayang kalau sampai tidak lanjut sekolah. Di kampung, jarak sekolahnya terlalu jauh. Dan dia perempuan. Jadi, apa salahnya kita membantunya..', kata-kata paman mencoba menarik simpati, 'toh, dia gak akan nyusahin kita..dia anak yang rajin' paman melanjutkan.
'Gak nyusahin..gak nyusahin..ini mah sudah buat susah. Tessa aja harus berbagi kamar dengan dia, Si Anak kampung itu. Iya kan, Tess?'
Tessa mengangguk mantap. Tatapan itu, tidak berhenti sebagai jawaban. Tapi juga sebagai permintaan.
Pintu kututup pelan-pelan, menghindari suara derit. Gagang yang kutahan setengah, segera kulepas. 'Ternyata ujian masih belum selesai. Kakek, nenek, aku sangat membutuhkan kalian'. Tetesan air mengalir hangat di kedua pipiku. Sambil memeluk erat tas baju, aku mengenang hari-hari waktu di desa.

'Tri..tri' suara paman membuyarkan lamunanku. 'Siap-siap pakaian dan sarapan, kita akan pergi ke sekolah'.
Walau senangnya bukan main, aku akan masuk sekolah, tapi mengingat bibi dan Tessa membuat tangan dan kaki ini malas bergerak cepat.
Berharap aku tidak ada disini. Tidak ada di Jakarta. Berada bersama-sama kakek dan nenek.

Ternyata, aku tidak suka sekolah. Hanya karena paman saja, aku tetap bertahan naik kelas dengan nilai yang pas-pasan, dan berkelakuan baik. Cukup diam dan mendengarkan, kita sudah di cap anak baik. Pagi dan siang, cukup kubaktikan tubuh dan telingaku kepada guru dan sekolah. Sore harinya, aku menjadi satu-satunya perempuan yang bermain bola di lapangan,
...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar