ketika merengkuh itu melenyapkanmu dalam damai
ternyata senandung suaramu masih terdengar merdu
meski mulai menyayup.
akan ku dandani
udara yang tanpa warna itu
pula ku sajikan
manisnya rasa bulan, yang belum purnama itu
seperti sediakala
layaknya bumi dan langit tidak terpisahkan,
tatkala ada jembatan
dengan
jarak sebatas bertatap muka
dan kini
air di sungai manakah yang hendak mengalir ke bawah?
karena langit tidak lagi di atas
mulailah laut kebingungan
mencari muara
tanpa bertanya kenapa
lalu siapakah yang telah tersesat?
dalam dunia yang bulat adanya?
bukankah berjalan lurus ke satu arah akan mendapatkanmu kembali ke titik semula?
tapi jangan pernah
persalahkan tanda
kehidupan tanpa tanda,
mati tak berwacana
jangan pula
permainkan
mimpi
karena
mimpi yang miliki hati,
tuk selalu berbicara nurani,
walau jauh dari masa depan
yang tanpa tujuan.
juga ternyata yang dekat,
lebih senang berkubang dalam gelap gulita
hanya,
pertanyakanlah hati
karena hati pemalu
dan telah malu hati manusia dibuatnya,
dan tak pernah cukup sekali
maka itu,
ijinkanlah
aku untuk tetap merengkuhmu
meski telah ku ketahui apa yang akan terjadi,
nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar