Bukan suatu kebetulan bisa berkenalan dan bisa mendapatkan nomor teleponnya. Memang usia kami yang terpaut 10 tahun adalah jarak yang terlampau jauh, yang membuat Dini, salah seorang kenalanku dì KRL jurusan Bogor, mau memanggilku diawali dengan sebutan mas.
Tapi katanya lebih sopan dan nyaman memanggìlku dengan bapak. Bapak Martin.
Ya. Semua orang di sekolah tempatku mengajar, tidak ada yang alpa untuk memanggil bapak. Entah apa karena penampilan yang terlalu rapih, rambut yang aku stel gaya John Lennon, ataukah gaya bahasaku berbicara yang formal dan tidak secanggih anak-anak jaman sekarang.
'Terima kasih, ya, pak, udah mau kasih tau Dini kalo yang tadi mau coba nyolong' ucap Dini sedikit menunduk tanda hormat.
'eh, bukan apa-apa kok..
tadi namanya sìapa? Dini ya?
Emang Dini baru pertama kali naik KRL?
Di atas kereta, kewaspadaan harus ditingkatkan,
banyak para pelakon sebagai esmod yang ternyata cuma mau mencari makan dengan cara tidak halal'
jawabku sambil memegang kepala sambil garuk-garuk, meskipun tidak gatal.
'kamu turun dimana, Din?' alih-alihku mulai mencari topik.
Tidak tahu mengapa, aku jadi merasa senang dengan kehadirannya. Dia yang belum pernah kukenal. Dia yang baru kukenal 5 menit yang lalu. Dia terasa sangat aku sayangi. Dini yang sepantasnya menjadi seorang muridku itu, telah mengambil hatìku seketika itu juga.
'sebentar lagi juga turun, pak..
dua stasìun lagi kok,
stasiun Cikini' jawabnya santai seperti tidak ada apa-apa,
dan memang tìdak ada apa-apa antara kita. Aaaaaaaarggh! Perasaan kesal mengguncang-guncang hatiku. Tidak menerima kondisi yang membuatku serba salah. Antara kehabisan topik, antara dia akan segera turun, dan ternyata dia memang bukan apa-apa dan siapa-siapaku. Dan satu lagi, aku bukan tipe orang yang suka berbasa basi. Haduh! Yang terakhir yang membuatku menjadi jomblowan sampai sekarang. Padahal udah ada puluhan kandidat dari para teman-temanku yang katanya ingin membuatku cepat-cepat dapat pasangan.
Boro-boro dapat, yang ada aku hanya bisa menjadi seorang teman yang menawarkan temannya lebih dulu memesankan makanan.
Dan meskì mereka satu per satu mundur darì hadapanku,
tapi memang tidak ada yang spesial untuk mampu membuatku sakit hati. Kenapa kali ini, aku merasa sesak yang sangat di dada?
kepada dìa yang aku tak rela untuk segera hìlang darì hadapanku?
entah, tidak ada alasan tercanggih apapun yang aku milìkì saat ìni. otak buntu. tìdak ada kata-kata yang tersisa untuk terucap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar